Shalat tidak diwajibkan atas orang kafir asli, orang gila, sedang ayan dan sedang mabuk yang keduanya bukan akibat main-main. Hal itu karena mereka tidak terkena beban agama; dan tidak diwajibkan pula atas perempuan yang sedang menstruasi dan nifas, karena shalat tidak sah dikerjakan mereka dan merekapun tidak wajib mengqodlo’nya

 

Tetapi shalat tetap diwajibkan atas orang murtad dan orang yang mabuk akibat main-main.

 

Orang muslim mukallaf yang suci, apabila dengan sengaja menunda shalat fardu hingga melewati waktu penjama’annya, ia malas melaukannya sedang berkeyakinan bahwa shalat itu wajib dikerjakan, kemudian disuruh bertaubat dan ia tidak mau bertaubat, maka dikenakan hadd (pidana) pancung leher.

 

Menurut pendapat bahwa menyuruh bertaubat itu sunnah tidak wajib, maka pemancung leher orang yang menunda shalat seperti di atas sebelum bertaubat adalah tidak dikenakan pidana. Tetapi pemancung itu telah menjalankan dosa.

Orang yang meninggalkan shalat karena menentangnya sebagai kewajiban adalah dibunuh sebagai orang kafir. Ia tidak usah dimandikan dan tidak usah dishalati.

 

Apabila seseorang dengan tanpa ada halangan ia meninggalkan shalat, maka ia wajib segera mengqodlo’ shalat itu.

Ia wajib qqodlo’ seketika itu juga

 

Syaikhuna Ahmad bin Hajar –rahmat Allah semoga padanya– mengemukakan : yang jelas, orang yang tertinggal shalat haruslah menggunakan secukup waktu untuk mengqodlo’nya selain waktu yang digunakan untuk melakukan sesuatu yang wajib atasnya; disamping juga haram baginya melakukan shalat sunnah (sebelum shalat qodlo’).

 

Apabila seseorang tertinggal shalat lantaran suatu halangan –misalnya tidur atau lupa yang benar-benar bukan main-main– maka dalam kewajiban qodlo’nya, ia disunnahkan melakukan dengan segera.

Jika seseorang tertinggal shalat karena suatu udzur, maka dalam kewajiban qodlo’nya ia disunnahkan melakukan shalat-shalat yang tertinggal secara berurutan waktunya. –ia melakukan qodlo’ shalat subuh sebelum dzuhur, dst–.

 

Dan disunnahkan mendahulukan qodlo’ sebelum shalat yang berada (ada’), kalau tidak khawatir kehabisan waktunya; menurut pendapat yang mu’tamad, bahwa kesunnatan mendahulukan qodlo’ dari shalat ada’ itu tetap berlaku, walaupun khawatir akan ketinggalan berjamaah.

Kalau ia tertinggal shalatnya bukan karena suatu udzur, maka wajib mendahulukan qodlo’ dari pada shalat ada’.

 

Adapun jika dia khawatir kehabisan waktu untuk shalat ada’ sehingga sepotong –walaupun sedikit– dari shalat ada’ akan terjadi di luar waktu, maka dia haus mendahulukan shalat ada’nya.

 

Wajib mendahulukan qodlo’ shalat yang tertinggal tanpa udzur, atas qodlo’ shalat yang tertinggal sebab suatu udzur, walaupun menyebabkan tidak tertib waktunya.

Karena tertib itu sunnah sedangkan bersegera adalah wajib.

 

Sunnah membelakangkan shalat rawatib sesudah qodlo’ shalat yang tertinggal sebab udzur; dan wajib kalau tertinggalnya itu tanpa suatu udzur